I
Malam itu ia membuka layar,
bukan untuk bekerja, bukan untuk belajar,
hanya untuk merasa: bahwa dunia masih bisa dibalik dari sisi yang lain.
Ia tidak mencari kemenangan,
ia mencari sesuatu yang…
tidak disebut dalam pidato, tidak dijelaskan dalam data.
GBOWIN.
Bukan nama yang ia ucapkan dengan keras.
Tapi di kepalanya, tautan itu adalah pintu kecil
menuju ruang tempat ia bisa berhenti menjadi versi dirinya yang selalu kuat.
II
Orang bilang: hidup harus disusun.
Rencana lima tahun.
Cicilan rumah.
Asuransi jiwa.
Tapi ia tak pernah sampai di tahap membuat “rencana.”
Yang ia miliki hanya: hari ini, jam ini,
dan sebuah rasa ingin tahu:
apa yang terjadi jika aku klik masuk ke GBOWIN?
Login bukan soal teknologi.
Itu adalah doa kecil:
“Semoga hari ini berbeda dari kemarin.”
III
Dulu, kakeknya bertaruh di lapak gaple belakang rumah.
Bukan karena ingin kaya,
tapi karena ingin merasa hidup.
Hari ini, ia membuka GBOWIN diam-diam.
Tak ada yang tahu.
Tapi jantungnya berdetak seperti generasi sebelum dia.
Hidup berubah, layar berganti,
tapi hasrat untuk mengejutkan diri sendiri tetap sama.
IV
Apa yang membuat orang kembali?
Bukan hadiah.
Bukan sistem referral.
Tapi kemungkinan.
Kemungkinan bahwa di antara 1.000 klik,
ada satu yang mengubah narasi hidupnya.
Ia tahu itu langka.
Tapi itu cukup untuk membuatnya bertahan —
dan mengetik lagi: GBOWIN.
Kesimpulan: GBOWIN, Dalam Diam Kita Menaruh Harapan yang Tak Berani Kita Sebutkan
Kita hidup di dunia yang penuh target.
Namun di balik semua logika dan produktivitas,
masih ada ruang-ruang sunyi dalam pikiran orang-orang Indonesia.
GBOWIN bukan hanya platform.
Ia adalah simbol dari hal yang lebih dalam:
keinginan untuk melawan kenyataan — meski hanya sebentar.
Dan barangkali, justru dalam tindakan yang paling diam,
kita sedang menyusun ulang cara kita berharap.
Comments on “GBOWIN: Sebuah Puisi Tentang Harapan yang Tidak Lagi Ingin Diumumkan”